Selamat datang para Nasionalis

Selamat datang para Nasionalis di website
sYndicate for Indonesia Transformation Universitas Indonesia (sYndrom UI)

25 September 2007

Kolaborasi Regulasi (Belum) Jamin Kesejahteraan

Oleh: Pamungkas Ayudhaning Dewanto*

Selasa, 3 Juli 2007 yang lalu pemerintah akhirnya mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) no. 77 Tahun 2007. Perpres ini dikeluarkan menyusul setelah besarnya tuntutan akan perbaikan iklim investasi di Indonesia. Perpres yang berisi tentang daftar negatif investasi (negative investment list) dan daftar investasi terbuka-bersyarat (conditionally open investment list) ini oleh sebagian kalangan juga dinilai merupakan langkah konkret pemerintah dalam melakukan terobosan di bidang investasi. Akibatnya, beberapa bidang usaha memang langsung diburu oleh sejumlah investor. Berbagai perbaikan kondisi makro-pun menjadi indikator keberhasilan regulasi tersebut. Namun demikian, pertanyaan besar yang akan diangkat di sini adalah apakah dalam jangka waktu yang panjang, serangkaian peraturan ini benar-benar mendukung terlaksananya program pengentasan kemiskinan yang secara bersamaan juga sedang dipertanyakan hasilnya?
Munculnya Perpres No. 77 tahun 2007 ini bermula dari disahkannya Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Sejak awal, sesungguhnya pengesahan UU itu sendiri sudah berbau kontroversial. Kontroversi itu dimulai dari walk out-nya dua fraksi besar, yakni PDI-P dan PKB, di DPR-RI kala membahas RUU ini, hingga tidak segera disahkannya Undang-Undang ini oleh Presiden RI sampai batas waktu akhir pengesahannya, yakni 30 hari setelah melalui proses legislasi.
Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 ini pada mulanya ditujukan untuk beberapa hal yang oleh pemerintah dianggap cukup signifikan. Yang pertama, UUPM ini dimaksudkan untuk mengganti UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, serta beberapa rangkaian peraturan yang dianggap sudah usang untuk mewujudkan perbaikan iklim investasi di negeri ini. Yang kedua adalah untuk meningkatan kondisi ekonomi makro di Indonesia, sebagaimana pemerintah yang sedang mengejar target pertumbuhan ekonominya hingga sekitar 6,5%. Dua pertimbangan inilah yang kemudian menjadikan investasi sebagai ujung tombak pertumbuhan ekonomi itu sendiri.
Dari UU inilah, Perpres No. 77 Tahun 2007 lahir. Sejumlah kalangan berusaha mencermatinya dalam dua kacamata yang bertentangan. Pandangan yang pro menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia akhirnya mampu melahirkan terobosan yang cukup signifikan untuk melakukan perbaikan perekonomian secara makro dan percepatan pertumbuhan ekonomi bagi masyarakatnya. Langkah ini diyakini menjadi gerbang awal sebagai jaminan adanya perbaikan mekanisme kepastian hukum dalam mengatur arus investasi di dalam negeri.
Namun nampaknya, pandangan kelompok diatas melupakan beberapa poin penting yang seharusnya dicermati sejak awal pada persoalan ini. Yang pertama tentu dengan jelas dapat dikatakan bahwa Perpres No.77 Tahun 2007 ini merupakan sebuah kepastian hukum yang harus diikuti dengan kontrol langsung oleh masyarakat. Pasalnya, pemerintah terlalu berspekulasi terhadap besarnya batas maksimum kepemilikan modal pada bidang usaha yang nantinya dapat dikuasai oleh asing. Batas maksimum kepemilikan modal asing atas beberapa bidang usaha (termasuk sebagian besar diantaranya adalah pengelolaan sumber daya alam) mencapai 95%. Tentu saja regulasi ini cukup menggairahkan bagi para investor asing. Dampaknya, kepemilikan Bangsa Indonesia sendiri atas hak beberapa bidang usaha, termasuk sumber daya alam akan sangat dimungkinkan minim. Hal ini semakin ironis apabila kita memperbandingkan batas maksimum kepemilikan modal asing yang ditetapkan di negara-negara sekaliber Amerika Serikat dan China yang maksimal hanya sebesar 30%.
Jacques B. Gélinas dalam Juggernaut Politics, 2003, menyatakan bahwa pelaksanaan demokrasi ekonomi secara paripurna akan dapat tercapai ketika kontrol sosial terhadap investasi dan perdagangan dapat dilaksanakan oleh seluruh komunitas lokal. Kontrol sosial ini juga dimaksudkan sebagai penyeimbang adanya sistem pasar yang monopolistik dan anarkhis. Di sinilah mengapa kontrol sosial perlu digalakkan oleh rakyat agar implementasi regulasi ini tidak malah merugikan Bangsa Indonesia.

Dimana Tempat Kesejahteraan?
Benarkah kolaborasi regulasi tadi akan menghadirkan iklim yang lebih baik untuk mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia? Dengan kondisi kesejahteraan di Indonesia yang masih stagnan, diikuti dengan semakin menjadinya kesenjangan ekonomi-sosial antar kelompok masyarakat, seyogyanya yang harus disadari oleh pemerintah dan DPR saat ini adalah menghadirkan regulasi yang sejalan dengan upaya peningkatan kesejahteraan itu sendiri.
Kolaborasi regulasi mengenai investasi tadi tidak serta merta menjamin hadirnya perbaikan kesejahteraan bagi masyarakat kita yang yang masih berada di bawah standar kemiskinan. Hal ini dapat dibuktikan dengan dibukanya pula berbagai bidang usaha yang saat ini juga digeluti oleh sebagian masyarakat kecil kita. Dampaknya tentu para pengusaha kecil ini dituntut untuk bersaing dengan para pengusaha besar yang terang saja mempunyai kapabilitas yang jauh lebih menjanjikan.
Penanggulangan kemiskinan di era industrialisasi ini bukan hal yang patut diacuhkan begitu saja. Setidaknya UN Summit on Corporate Citizenship awal Juli lalu di Geneva membuktikan bahwa organisasi internasional sekaliber PBB-pun menganggap bahwa kemiskinan merupakan suatu persoalan yang tidak mudah. Melalui pertemuan ini, PBB juga dengan serius menanggapi berbagai komitmen korporasi dan pemerintah dalam bekerjasama menanggulangi kemiskinan. Hal ini menambah satu alasan lagi bahwa kehadiran para investor yang akan semakin meningkatkan gelombang industrialisasi di Indonesia tidak juga menjamin kesejahteraan masyarakat sekitar, ketika perusahaan sendiri tidak melakukan voluntary intiative menerapkan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dan pemerintah tidak memberikan wibawanya dalam mengatur peran sosial perusahaan. Padahal di negara kita sendiri, Undang-Undang Perseroan Terbatas yang baru-baru ini disahkan juga masih diperdebatkan mengenai pasal-pasal yang mengatur tanggung jawab sosial perusahaan. Hal ini membuktikan bahwa pemerintah, DPR, dan pihak korporasi juga tidak sungguh-sungguh dalam memberikan kepastian atas komitmen terhadap kesejahteraan itu sendiri.
Dalam konteks ini, regulasi investasi yang dibentuk oleh pemerintah dan DPR ini tidak serta-merta menjamin tersedianya kesempatan rakyat dalam mendapatkan akses untuk mencapai kesejahteraan. Dipersempitnya ruang gerak para pemodal kecil lokal yang prioritasnya justru diberikan kepada para pemodal besar asing menjadi salah satu premis yang mendukung. Dalam hal ini, pemerintah dan DPR kurang memberikan keleluasaan terhadap para pengusaha kecil lokal untuk meningkatkan produktivitasnya. Padahal, seharusnya ruang gerak bagi pengusaha kecil lokal harus terus diciptakan dan diperluas. Selain itu, pemberdayaan pengusaha kecil seperti inilah yang nantinya diharapkan dapat meningkatkan pemerataan kesejahteraan dan meminimalisir gap antara si kaya dan si miskin.
Sebenarnya awal Juni lalu pemerintah juga mengeluarkan Inpres (Instruksi Presiden) No. 6 Tahun 2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Inpres ini memang sedikit memberikan angin segar bagi UMKM. Namun Inpres ini tidak secara tegas memberikan langkah-langkah yang konkret bagi pemberdayaan sektor riil. Dari sini sebenarnya dapat dicermati sektor manakah yang lebih menjadi prioritas pemerintah saat ini, dan jawabannya tentu adalah investasi.
Kebijakan mengenai pemberdayaan usaha kecil tentunya sangat sinergis disandingkan dengan upaya peningkatan kesejahteraan. Langkah ini tentu juga sekaligus sebagai wahana kontrol sosial bagi investasi dan perdagangan oleh komunitas lokal, seperti halnya yang dikemukakan oleh Jacques Gélinas. Dengan kata lain, dalam rangka melakukan perbaikan kondisi kesejahteraan di Indonesia ini, langkah-langkah yang pro-poor seharusnya lebih diprioritaskan. Yang perlu dipertegas kembali adalah jangan sampai sistem regulasi investasi yang diterbitkan oleh pemerintah dan DPR ini malah menghambat proses perbaikan kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia, khususnya akses terhadap 37,17% warga kita yang masih berada di bawah garis kemikinan (BPS, 2007). Apabila kontrol sosial saja tidak dapat dilakukan secara langsung oleh masyarakat terhadap arus investasi dan perdagangan, lalu bagaimana demokrasi ekonomi secara paripurna dapat dirasakan oleh seluruh komponen bangsa dalam sebuah kerangka kesejahteraan sosial?

*Penulis adalah Direktur Eksekutif Syndicate for Indonesia Transformation (Syndrom),
Artikel sebelumnya dimuat di Harian Media Indonesia, 2 Agustus 2007