Selamat datang para Nasionalis

Selamat datang para Nasionalis di website
sYndicate for Indonesia Transformation Universitas Indonesia (sYndrom UI)

22 Agustus 2007

Senjakala Nasionalisme?

Panji Yudha Prasetya*

Nasionalisme, sebuah ungkapan yang menurut sebagian orang hanya menonjolkan sifat ambiguitas pada substansinya sehingga debat publik yang terjadi cenderung didominasi oleh wacana-wacana pragmatis dan reaktif menyikapi permasalahan-permasalahan aktual seperti kekhawatiran akan kesejahteraan dengan meningkatnya harga-harga barang kebutuhan pokok dan meluasnya jurang antara kaya dengan miskin. Debat publik tersebut menjadi kehilangan kualitas inspirasionalnya apabila tidak bersubstansikan idealisme-idealisme yang bersinergi dengan persoalan riil tersebut.

Gagasan-gagsan yang diusung oleh pemerintah tampaknya telah kehilangan kapasitas untuk memberikan pemahaman ideolgis yang penting bagi keutuhan bangsa.
Ideologi yang saya maksudkan adalah suatu gerakan untuk mancapai dan mempertahankan otonomi, kesatuan, dan identitas bangsa, secara aktual dan potensial, atau dapat diartikan menjadi Nasionalisme. Nasionalisme mutlak diperlukan oleh bangsa dalam mengorganisir ‘kendaraan yang berfungsi sebagai suatu alat untuk mewujudkan tujuan-tujuan dalam kontrak sosial’ yang disebut dengan Negara. Nasionalisme mutlak diperlukan suatu Negara dan mutlak pula dijadikan sebagai landasan ideologi Negara dalam mewujudkan suatu cita-cita bangsa.
Apabila kita bertemu dengan permasalahan mengenai kesejahteraan. Kesejahteraan pada hakikatnya diwujudkan dengan mengupayakan secara maksimal sumber-sumber kesejahteraan yang di miliki sebagai suatu perwujudan rahmat Tuhan agar dapat terjangkau oleh rakyat secara merata. Negara dalam hal ini mempunyai tujuan untuk menjamin terjangkaunya sumber-sumber kesejahteraan ini sebagai wujud dari komitmen Negara terhadap pemenuhan kontrak sosial. Latensi disintegrasi dapat muncul kepermukaan bilamana Negara mengabaikan hal tersebut. ini berkaitan pula dengan konsepsi ketahanan nasional Negara. Disintegrasi yang termanifestasi akan merusak struktur-struktur masyarakat dan begitu pula struktur pemerintahan yang menyebabkan perubahan sosial yang mengarah pada anarki—yaitu perubahan destruktif tanpa rekonstruksi. Tatanan geopolitik pun rusak dan berakibat pada lemahnya bargaining power Indonesia dalam percaturan politik dunia dengan ditandai adanya okupasi bangsa-bangsa yang mempunyai kepentingan geopolitik terhadap potensi wilayah kita yang pasti akan terjadi dengan memobilisasi dan mempropaganda masyarakat daerah untuk berpisah dengan NKRI.
Indonesia merupakan untaian kepulauan yang dihuni oleh beratus macam suku bangsa. Pruralitas adalah nyata. Dan dengan kesadaran akan adanya pruralitas tersebut para founding fathers Negara kita membentuk kontrak sosial yang termaktub dalam pancasila dan UUD 45, sebagai falsafah, cita-cita dan jiwa bangsa, yang memfasilitasi agar pruralitas tersebut dapat mencapai tujuan mereka yang beraneka ragam pula, yang mewujudkan suatu kesejahteraan sosial. Inilah perlunya nasionalisme. Nasionalisme yang saya maksudkan adalah socio-nasionalisme. Nasionalisme yang diwujudkan untuk seadil-adilnya kesejahteraan. Dan sebagai generasi penerus bangsa, cita-cita bangsa Indonesia yang diamanatkan tersebut ada di pundak kita, dan kita lah yang wajib mewujudkannya. Mewujudkan sosio-nasionalisme dengan mengacu pada sosio-demokrasi dan ketuhanan.

*Koordinator Pemberdaya Kesejahteraan Sosial dan Masyarakat sYndicate for Indonesia Transformation (sYndrom UI)

21 Agustus 2007

SOEKARNO: SEKALI LAGI TENTANG SOSIO-NASIONALISME DAN SOSIO-DEMOKRASI

Ir. SOEKARNO:

SEKALI LAGI TENTANG
SOSIO-NASIONALlSME DAN SOSIO
-DEMOKRASI

Seorang pembatja jang dengan
sungguh-sungguh
membatja tulisan saja tentang
sosio-nasionalisme dan
sosio-demokrasi beserta soal
kapital­isme bangsa sendiri,
dan jang djuga membatja perslah
pidato saja
di Mataram achir-a
chir ini,
adalah minta penjuluhan lebih
landjut tentang soal:

Bagaimana sikap sosio-nasionalisme
tentang soal buruh, dan,
Bagaimana sikap sosio-nasionalis
tentang soal non-kooperasi? Marilah
saja lebih dulu memberi penjuluhan tentang soaI jang per­tama:
soaI baik atau tidaknja orang m
endjadi kaum-buruh.

Sosio-nasionalism
e adalah "nasionalisme masjarakat", nasionalisme
jang mentjari selamatnja seluruh masjarakat dan jang bertindak
menurut wet-wetnja masjarakat itu. Didalam karangan saja jang
membitjarakan sosio-nasionalisme itu, saja sudah katakan, bahwa
sosio-nasionalisme bukanlah nasionalisme ngalamun, bukanlah
nasionalisme hati sahadja, bukanlah nasionalisme "lyriek" sahadja, -
tetapi ialah nasionalisme jang diperhitungkan, nasionalisme
berekening. Itulah sebabnja, maka sosio-­nasionalisme ialah
nasionalisme jang bertindak menurut wet-wetnja masjarakat, dan tidak
bertindak melanggar wet-wetnja masjarakat itu.

Sekarang apakah wet-wetnja masjarakat ten tang soal perburuhan?

Wet-wetnja masjarakat tentang soal perburuhan ialah, bahwa
perburuhan

itu adalah tjotjok dengan sifat-hakekatnja masjarakat jang sekarang
ini,

jaitu tjotjok dengan hakekatnja masjarakat jang kapitalistis.
perburuhan

adalah memang dasarnja dunia jang kapitalistis. Perburuhan kita
dapatkan, dimana-mana

kapitalisme ada,
dan perburuhan timbul dimana kapitalisme timbul. Ia
adalah memang buah

salah satu tendenznja masjarakat, - buah salah satu kehendaknja
masjarakat. Ia adalah dus

memang tertalikan atau inhaerent kepada masjarakat jang sekarang
ini.

Sosio-nasionalisme, oleh karenanja, harus memandang perburuhan ini
sebagai suatu keharusan. Sosio-nasionalisme tidak boleh
mĂ©ngenang­kan dunia sekarang ini zonder perburuhan. Ja, sosio-
nasionalisme harus menerima adanja perburuhan itu sebagai salah satu
alat, sebagai suatu gegeven, didalam perdjoangannja.

Memang, baik sekali sosio-nasionalisme
mengandjurkan "pentja­harian merdeka", dan kitapun memang harus
memadjukan "pentjaharian merdeka" itu. Terutama didalam dunia
kolonial, dimana imperialisme telah merebut harnpir tiap-tiap rasa
pertjaja pada diri sendiri, dimana rakjat telah berabad-abad kena
injeksi rasa ketidak-mampuan, dimana rasa pertjaja pada diri sendiri
adalah habis te
rbasmi sampai kekutu-­kutunja, - terutama didalam
dunia kolonial itu, "pentjaharian merdeka" adalah besar faedahnja.
Tetapi siapa jang berkenang-kenangan suatu masjarakat Indonesia
sekarang ini melulu terdiri dari kaum pentjaharian merdeka sahadja, -
suatu masjarakat Indonesia jang melulu terdiri dari orang-orang-
warung, orang-orang-pertukangan ketjil, orang-orang-per­tanian
ketjil, orang-orang-tahu, orang-orang-soto, orang-orang-tjendol --,
ia sebenarnja didalam ideologinja jang konservatif, berideologi jang
tak ikut dengan tendenznja pergaulan-hidup. la adalah orang jang
mau membelokkan
djurusannja masjarakat,-- seorang reaksioner, seorang sosial-
reaksioner. Kenang-kenangannja, bahwa djikalau semua orang lndonesia
berpentjaharian merdeka dan tidak mendjadi budak kapitalis dan
imperialis, nistjaja kapitalisme dan imperialisme itu akan gugur
sebagai gedung jang hilang alasnja, -- kenang-kenangannja jang
demikian itu adalah teoretis belaka, dan tak berdiri diatas basis
jang njata.

Sebab basis jang njata, keadaan jang njata, feit jang njata ialah,
bahwa perburuhan itu adalah suatu sociaal gegeven, jakni suatu hal
jang memang berada didalam tendenznja masjarakat. Sosial-
nasionalisme h
arus menanamkan hal ini kedalarn keinsjafannja. la
harus mengerti, bahwa kenang-kenangan jang "semua orang lndonesia
berpentjaharian merdeka" , adalah kenang-kenangan "ngelangut", suatu
kenang-kenangan jang mau membalikkan masjarakat kembali kedalam
kabut-halimunnja keadaan kuno jang sediakala. Ia harus mengerti,
bahwa tjara perdjoang­an "mendjatuhkan imperialisme dengan
djalan semua berdagang tahu dan soto" adalah tjara perdjoangan jang
mustahil bisa berdjalan 100%, dan jang dus mustahil bisa berbuah
100%. Ia harus mengerti, bahwa tjara perdjoangan jang demikian itu
adalah tjara perdjoangan jang anti­sosial, jakni karena mau
menghilangkan perburuhan didalam dunia sekarang ini adalah barang
jang tidak bisa terdjadi, dan BERTEN­TANGAN dengan tendenznja
masjarakat.

la harus mengerti, bahwa sebutan "mendjadi buruh adalah hal jang
hina", adalah sebutan jang bodoh. Tidakkah, djikalau benar
perburuhan adalah barang jang hina, seluruh dunia dus penuh
dengan "orang jang hina", - dunia jang_beratusan djuta kaum buruhnja
itu?

Tidak, -- jang hina bukanlah perburuhan,
bukanlah haknya orang mendjadi kaum buruh.
Jang hina ialah semangat-perburuhan,
semangat­-perbu
dakan jang sering kali
hidup didalam
kalbunja kaum buruh.

Semangat-perbudakan inilah jang
harus dilenjapkan oleh
kaum sosio-nasionalis,
semangat-perbudakan inilah
jang harus mereka berantas
dan robah mendjadi
semangat-perdjoangan jang
seinsjaf-insjafnja.
Semangat­-perbudakan inilah jang mendjadi sebabnja imperialisme
bisa terus berdiri dengan gagah-perkasa, semangat-perbudakan inilah
jang oleh karenanja harus kita gugurkan dan kita ganti dengan
semangat perlawanan jang sadar dan· menyala.

Djustru adanja perburuhan itulah harus mendjadi salah sa tu sen
djatanja

sosio-nasionalisme melawan imperialisme dan kapitalisme, --

bukan hilangnja perburuhan jang mustahil dan anti-sosial itu. Oleh
karena itulah, maka salah sa tu kewadjiban sosio-nasionalis ialah:
mengobar-ngobarkan semangat-perlawanan kaum burun itu dan
mengorga­nisir kaum buruh itu didalam badan-badan sarekat-
sarekat-sekerdja jang kuat dan sentausa. Hanja dengan djalan jang
demikian kita punja politik adalah politik jang berdiri diatas
realiteit alias keadaan jang njata!

Djadi: peri-kehidupan "pentjaharian-merdeka" harus kita pudjikan dan
andjurkan sebagai salah satu alat mengurangkan rasa-ketidak-
mam­puan didalam masjarakat kita jang hampir habis rasa-pertjaja-
pada-diri­-sendiri itu, -- tetapi sebagai system-perdjoangan
kita tidak boleh ngalamun akan hilangnja perburuhan, sebaliknja
harus menerima perburuhan itu sebagai suatu keadaan njata jang harus
kita bangkitkan mendjadi alat­-perdjoangan jang berharga besar
untuk mendatangkan masjarakat jang selamat, tidak kapitalisme dan
imperialisme. Itulah sikap-sosio-nasio­nalisme terhadap pada
soal perburuhan.

Arti non-kooperasi semua pembatja telah mengetahui. Non-kooperasi
berarti "tidak mau bekerdja bersama-sama". Bagaimanakah djelasnja
hal ini?

Non-kooperasi kita adalah salah satu azas-perdjoangan
(strijdbegin­sel) kita untuk mentjapai Indonesia-Merdeka.
Didalam perdjoangan mengedjar Indonesia-Merdeka itu kita harus
senantiasa ingat, bahwa adalah pertentangan kebutuhan antara sana
dan sini; antara kaum pen­djadjah dan kaum jang didjadjah.
Memang pertentangan kebutuhan inilah jang memberi kejakinan kepada
kita, bahwa Indonesia-Merdeka tidaklah bisa tertjapai, djikalau kita
tidak mendjalankan politik non­-cooperation. Memang pertentangan
kebutuhan inilah jang buat sebagian besar menetapkan kita punja azas-
azas-perdjoangan jang lain-lain,­ misalnja machtsvorming, massa-
aksi, dan lain-lain .

Oleh karena itulah, maka non-kooperasi bukanlah hanja suatu azas-
perdjoangan "tidak duduk-didalam raad-raad-pertuanan" sahadja. Non-
kooperasi adalah suatu prinsip jang hidup, tidak mau bekerdja
bersama-sama diatas segala lapangan politik dengan kaum pertuanan,
melainkan mengadakan suatu perdjoangan jang tak kenal damai, dengan
kaum pertuanan itu. Non-kooperasi tidak berhenti diluar
dinding­dindingnja raad-raad sahadja, tetapi non-kooperasi
adalah meliputi semua bagian-bagian daripada kita punja perdjoangan
politik. Itulah sebabnja, maka "non-kooperasi adalah berisi
radikalisme, - radikalisme hati, radi­kalisme fikiran,
radikalisme sepak-terdjang, radikalisme didalam semua sikap lahir
dan sikap bathin. Non-kooperasi meminta kegiatan.

Salah satu bagian daripada kita punja non-cooperation adalah tidak
mau duduk didalam dewan-dewan kaum pertuanan. Sekarang apakah Tweede
Kamer djuga termasuk dalam dewan-dewan kaum pertuanan itu? Tweede
Kamer adalah termasuk dalam dewan-dewan kaum pertuanan itu, sebab
djustru Tweede Kamer itu bagi kita adalah suatu "pembadanan",
suatu "pendjelmaan" daripada "koloniseerend Holland",
suatu "pen­djelmaan" daripada kekuasaan jang mengungkung" kita
mendjadi rakjat jang tak merdeka. Djustru Tweede Kamer itulah bagi
kita adalah suatu "symbool" daripada koloniseerend Holland,
suatu "symbool" daripada keadaan jang menekan kita mendjadi rakjat
taklukan dan sengsara. Oleh karena itulah maka non-kooperasi kita
sudah didalam azasnja harus tertudju djuga kepada Tweede Kamer
chususnja dan Staten-Generaal umumnja, -- ja, harus ditudjukan djuga
kepada semua "perbadanan-perbadanan" lain daripada sesuatu system
jang buat mengungkung kita dan bangsa Asia, misalnja Volkenbond dan
lain sebagainja.

Anarchisme? Toch Tweede Kamer suatu parlemen? Memang Tweede Kamer
adalah suatu parlemen: tetapi Tweede Kamer adalah suatu
parle­men Belanda. Memang kita adalah orang anarchis, kalau kita
menolak segala keparlemenan. Memang kita orang anarchis, kalau
misalnja nanti kita menolak duduk didalam parlemen lndonesia, jang
nota-bene hanja bisa berada didalam suatu Indonesia jang Merdeka,
dan jang akan memberi djalan kepada demokrasi-politik dan demokrasi-
ekonomi. Memang, djikalau seorang Inggeris memboikot parlemen
Inggeris, djikalau seorang Djerman tidak sudi duduk dalam parlemen
Djerman, djikalau seorang Perantjis menolak' kursi dalam parlemen
Perantjis, .maka ia boleh djadi seorang anarchis. Tetapi djikalau.
seandainja mereka menolak duduk di­dalam suatu parlemen daripada
suatu negeri jang mengungkung negeri mereka, -- djikalau kita bangsa
lndonesia sudah didalam azasnja menolak duduk dalam parlemen
Belanda --, maka itu bukanlah anarchisme, tetapi suatu azas-
perdjoangan
non-cooperation nasionalis-non-kooperator jang sesehat-sehatnja!
Lihatlah riwajat perdjoangan non-cooperation dinegeri-negeri
lain.Lihatlah misalnja riwajat perdjoangan non-cooperation dinegeri
lrlandia,­salah satu sumber daripada perdjoangan non-cooperation
itu. Lihatlah disitu sepak-terdjangnja kaum Sinn Fein. Sinn Fein
adalah mereka-punja sembojan, --Sinn Fein, berarti "kita sendiri".

"Kita Sendiri", itu adalah gambarnja merekapunja politik: politik
tidak mau bekerdja sama-sama dengan Inggeris, tidak mau kooperasi
dengan Inggeris, tidak mau duduk didalam parlemen
Inggeris. "Djangan­lah masuk ke Westminster, tinggalkanlah
Westminster itu, dirikanlah Westminster sendiri!", adalah propaganda
dan aksi jang didjalankan oleh Sinn Fein. Adakah mereka kaum
anarchis? Mereka bukan kaum anarchis, tetapi kaum nasionalis non-
kooperator jang prinsipiil pula.

Orang mengandjurkan duduk di Tweede Kamer buat mendjalankan politik-
opposisi dan politik-obstruksi, dan memperusahakan Tweede Kamer itu
mendjadi mimbar perdjoangan. Politik jang demikian itu boleh
didjalankan dan memang sering didjalankan pula oleh kaum kiri,
sebagai kaum O.S.P., kaum komunis, atau kaum C.R. Das cs. di
Hindustan jang djuga tidak anti-parlemen Inggeris. Tetapi politik
jang demikian itu tidak boleh didjalankan oleh seorang nasionalis-
non-kooperator. Pada saat jang seorang nasionalis-non-kooperator
masuk kedalam sesuatu de­wan kaum pertuanan, ia, pada saat jang
ia didalam azasnja suka masuk kedalam sesuatu dewan kaum pertuanan
itu, sekalipun dewan itu berupa Tweede Kamer Belanda atau
Volkenbond, -- pada saat itu ia melanggar azas, jang disendikan pada
kejakinan atas adanja pertentangan kebutuhan antara kaum pertuanan
itu dengan kaumnja sendiri. Pada saat itu ia mendjalankan politik
jang tidak prinsipiil lagi, mendjalankan politik jang pada
hakekatnja melanggar azas
non-kooperasi adanja!

Kita harus mendjalankan politik non-kooperasi jang prinsipiil,-
menolak didalam azasnja kursi di Volksraad, di Staten-Gèneraal,
didalam Volkenbond. Dan sebagaimana tahadi telah saja terangkan,
maka perkara dewan-dewan ini hanjalah salah satu bagian sahadja
daripada non­-kooperasi kita. Bagian jang terpenting daripada
non-kooperasi kita ada­lah: dengan mendidik rakjat pertjaja
kepada "kita sendiri", -- untuk me­mindjamkan perkataan kaum non-
cooperation Irlandia, -- menjusun dan menggerakkan suatu massa-aksi,
suatu machtsvorming Marhaen jang haibat dan kuasa!



"Fikiran Ra'jat", 1932



(Arsip - K.Prawira: Ir. Soekarno, "SEKALI LAGI TENTANG SOSIO-
NASIONALISME DAN SOSIO-DEMOKRASI", Dibawah Bendera Revolui,
Djilid I Tjetakan III, 1964, halaman 187-191)

Posted from http://www.mail-archive.com/sarikata@yahoogroups.com/msg02191.html

Dipublikasikan oleh: Ananto Pratikno

Optimistis dan Revolusi Putih

Pamungkas Ayudhaning Dewanto*


KENAIKAN harga susu yang belakangan terjadi di DKI Jakarta, kini telah menjalar ke berbagai wilayah di Indonesia. Akibatnya, banyak warga kewalahan menghadapi kenyataan ini. Kejadian itu bisa dicermati dalam kaca mata pesimistis dan tentunya juga optimistis.


Kenaikan harga susu formula yang berkisar antara 15% hingga 20% itu semakin memicu turunnya jumlah konsumsi susu bagi masyarakat. Ada banyak dugaan dalam menengarai penyebab dari kenaikan harga susu itu. Di antaranya kekeringan di beberapa negara yang menjadi penyuplai utama pasokan susu ke Indonesia, yakni Australia dan Selandia Baru. Imbasnya, tentu kelangkaan semacam ini selalu diikuti naiknya harga produk. Harga bahan baku susu impor yang tadinya hanya berkisar pada US$1 per kilogram (kg), kini naik hingga US$2,2 per kg. Dugaan lain sebagai penyebab atas naiknya harga susu di dalam negeri itu, antara lain tingginya bea masuk terhadap produk susu dari luar negeri.

Setidaknya pemerintah mengenakan 15% untuk biaya masuk bahan baku susu dari negara pengekspor. Hal itu juga kemudian mengakibatkan tingginya biaya produksi yang dikeluarkan setiap perusahaan susu. Semua itu dibebankan kepada konsumen. Malahan, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu menegaskan bahwa kenaikan susu dari tahun ke tahun berkisar stagnan pada angka 5%.

Berbagai gejala tersebut tentu membuktikan tingginya ketergantungan masyarakat terhadap produk susu ini. Namun demikian, sangat disayangkan Indonesia masih menggantungkan pasokan susu impor. Pada sudut pandang ini, sebenarnya sekaligus juga mewakili pola pikir pesimistis dalam menanggapi persoalan ini.

Tentu tidak dapat dipungkiri akan pentingnya kebutuhan susu di Indonesia, dan bahkan di negara manapun. Apalagi di negara ini masih sering terdengar berita akan gizi buruk atau mala nutrisi yang menimpa rakyat miskin.

Seharusnya, produk ini, selain sembilan bahan pokok tentunya, perlu menjadi prioritas utama dalam sektor pemenuhan kebutuhan masyarakat. Hingga saat ini, bangsa kita memang tidak pernah menjadikan susu Sebagai prioritas utama. Hal itu dibuktikan dengan lemahnya selfsufficiency atas kebutuhan ini. Bayangkan saja, saat ini, sedikitnya Indonesia menggantungkan dirinya terhadap kemampuan impor atas komoditi ini sebesar 70% dari total kebutuhan susu dalam negeri. Susu sebagai komoditi yang tidak diprioritaskan juga terlihat pada pernyataan yang secara langsung diungkapkan Mari Pangestu beberapa waktu yang lalu (detikfinance.com, 27/06).

Bukan prioritas Akibat dari tidak diprioritaskannya produk ini, pemerintah tidak dapat mengontrol dan menentukan secara langsung harga susu di pasaran. Berbagai premis itu tentunya semakin memperkokoh landasan pikir serba impor, bahkan pada komoditi sepenting susu ini.

Kelemahan berikutnya atas ketergantungan terhadap impor itu tentunya berimbas kepada melemahnya sektor industri kecil produsen susu di berbagai daerah. Setahun yang lalu, misalnya, ketika susu (formula) impor semakin diminati dalam pasaran di Indonesia. Kondisi itu sangat merugikan produsen susu lokal, seperti yang terdapat di Boyolali, Jawa Tengah. Para pengusaha kecil mencoba melakukan estimasi mengenai kelangsungan usaha mereka ketika kondisi diasumsikan memburuk (impor semakin besar). Kala itu, harga susu pada peternakan lokal berkisar Rpl.400 hingga Rpl.500 per liternya (Suara Merdeka, 14 Juni 2006).

Padahal seharusnya, agar para produsen susu lokal ini dapat bertahan, harga susu berkisar di atas Rp2.000 per liter. Hasil estimasi keseluruhan menyatakan bahwa pengusaha kecil yang hanya memiliki 2-3 ekor sapi dipastikan akan merugi dan bahkan bangkrut ketika kondisi diasumsikan terus menanti impor. Padahal, produsen susu di daerah Boyolali itu mayoritas hanya memiliki 2-3 ekor sapi. Padahal para pengusaha susu lokal saat ini setidaknya memasok 30% dari jumlah keseluruhan kebutuhan susu di negeri ini.

Pada era 1950-an, Dr Verghese Kurien memperkenalkan White Revolution di India. Setelah mengalami ketidakmampuan akan pemenuhan kebutuhan susu, pemerintah India segera mengambil alih komoditi itu sebagai salah satu prioritas utama dalam kebijakan pemerintahnya. Sebenarnya, argumen dasar yang digunakan para politisi di India kala itu sangatlah sederhana. Selain memang untuk memenuhi kebutuhan susu dalam negeri, pembangunan sektor perusahaan susu menjadi suatu ukuran tersendiri untuk menciptakan penyediaan lahan pekerjaan serta pendapatan suplementer (supplementary employment and income) bagi kelompok usaha kecil dan juga para pekerja tidak tetap.

Awalnya, produksi susu di India stagnan, khususnya pada 1950 dan 1960-an. Pertumbuhan produksinya pun negatif. Akhirnya pemerintahan setempat mencanangkan adanya OF (operation flood). OF itu dibagi menjadi tiga periode, dengan setiap periodenya telah menuiv jukkan jumlah yang signifikan bagi pembangunan (procurement) produksi susu di India.

Dimulai dari 1970 dan diakhiri pada 1996, tiga periode yang telah berjalan tersebut setidaknya meningkatkan produksi susu dari 2,56 juta kg per hari (OF I, 1970-1981) menjadi 11 juta kg per hari (OF III, 1987-1996). Produksi susu secara keseluruhan juga meningkat dari 17 juta ton pada 1950-1951, menjadi 84,6 juta ton pada 2001-2002. Angka itu diperkirakan juga akan terus meningkat hingga saat ini.

Pemberdayaan usaha kecil Strategi dalam OF mencakup unsur yang cukup luas, namun sederhana. Di antaranya pemerintah mulai mengatur produk susu. Strategi lain yang dilakukan ialah membangun sistem usaha yang proporsional, di antaranya dengan memberdayakan perusahaan susu besar dan sekaligus memberdayakan usaha kecil yang berbasis pada intensifikasi dan ekstensifikasi peternakan.

Sedangkan untuk menjamin keseimbangan ketersediaan susu di seluruh wilayah di India, akhirnya dicanangkan program producers cooperatives. Program itu merupakan suatu langkah inovasi institusional yang membuka akses secara luas dan terbuka antara masyarakat pedesaan sebagai penghasil susu dalam lingkup kecil, dan seluruh komponen masyarakat di seluruh India. Dampaknya, masalah kelangkaan pun teratasi dengan sendirinya. Melalui langkah-langkah itulah, India, yang pada mulanya penghasil susu terendah di dunia, kini menjadi penghasil susu terbesar di dunia.

Setidaknya ada beberapa keuntungan yang didapat dari upaya selfsufficiency produksi susu ini. Pertama, konsumsi susu jelas akan meningkatkan angka harapan hidup setiap warga negara. Karena berkaitan dengan pemenuhan gizi dan nutrisi.

Berikutnya, konsumsi susu merupakan investasi jangka panjang bagi sumber daya manusia di suatu negara. Hal itu dapat kita cermati dengan melihat liniernya variabel antara jumlah konsumsi susu di suatu negara dan tingkat pembangunan dan inovasi di suatu negara itu sendiri, seperti halnya di berbagai negara maju.

Ketiga, terkait dengan persoalan pembangunan ekonomi rakyat pada masyarakat di suatu negara. Dengan menempatkan produksi susu sebagai prioritas utama dalam komoditi, idealnya diikuti dengan langkah-langkah konkret dari pemerintah untuk membangun sistem regulasi perdagangan yang sehat dan berbasis pada kesejahteraan masyarakat.

Sebenarnya, bagi negara berkembang seperti Indonesia, langkah-langkah agrikultural seperti itu menjadi pilihan yang menjanjikan. Potensi masyarakat, wilayah, dan budaya sangatlah mendukung untuk mengembangkan sektor tersebut. Dengan mengkumodifikasikan produk susu lokal, artinya telah melakukan langkah-langkah konkret untuk membangun sektor usaha kecil dan menengah (UKM) seperti halnya mayoritas para produsen susu ini. Di samping itu, pola inovasi juga harus terus dilakukan, sehingga pemenuhan kebutuhan akan susu dapat diraih secara mandiri dan sesuai dengan dinamika yang berkembang.

Preseden itu memang patut kita jadikan sebagai refleksi. Semua itu kembali kepada pemeriritah dan masyarakat, apakah berani melakukan terobosan-terobosan yang sebenarnya kecil, namun sangat berarti bagi bangsa ini? Atau dengan kata lain, siapkah kita menuju berdikari pangan dengan Revolusi Putih ala Indonesia?


*Koordinator Umum (KoordUm) Syndicate for Indonesia Transformation (Syndrom) Universitas Indonesia. dipublikasikan sebelumnya pada harian Media Indonesia: senin, 9 Juli 2007 dan pada YPHA (Yayasan Pemantau Hak Anak).

13 Agustus 2007

Lingkup Kajian

Beberapa jenis kajian yang dilakukan oleh sYndrom UI dengan diketuai oleh seorang koordinator Pemberdayaan, yaitu :
· Kesejahteraan Sosial dan masyarakat
· Politik dan Hukum
· Ekonomi
· Hubungan Internasional
· Wawasan Kebangsaan
. Pendidikan

Arti lambang sYndrom








Arti lambang dan Pemaknaannya:


Kata sYndrom, dengan huruf s-n-d-r-o-m berwarna hijau melambangkan cita-cita para aktivis sYndrom UI yang menghendaki adanya keadilan sosial melalui ketuhanan, sosio-nasionalisme, dan sosio-demokrasi untuk Indonesia. Hijau diartikan sebagai sebuah lambang kesejahteraan—kesejahteraan untuk rakyat—kesejahteraan untuk semua.
Huruf Y besar berwarna merah dan segitiga terbalik melambangkan jiwa para aktivis sYndrom UI yang membara dalam mengemban tugas untuk mentransformasikan Indonesia. Dan tulisan Syndicate for Indonesia Transformation, berwarna merah dibawah kata sYndrom melambangkan penegasan bahwa cita-cita para aktivis sYndrom UI harus ditegakkan diatas infrastruktur ideologis, yaitu progresif-revolusioner dalam kerangka semangat Nasionalisme.

Aksi

  1. Lingkar Pergerakan Nasionalis

Merupakan kegiatan yang dilakukan oleh sYndicate for Indonesia Transformation UI (sYndrom UI) dengan melakukan perkuatan basis-basis kerjasama dengan organisasi lain yang berasaskan Nasionalisme melalui kajian-kajian yang kemudian diangkat pada wacana-wacana dalam ranah akademisi melalui berbagai pertemuan-pertemuan dengan para akademisi UI (professor, dosen, dan organisasi mahasiswa Universitas Indonesia) melalui seminar, dan kajian-kajian. Dan kemudian, membangun kerjasama dengan mereka membuat poros sYndrom-OrNas (organisasi Nasionalis)-akademisi UI.

2. Kajian Idealisme kebangsaan

Membahas idealisme-idealisme Nasionalis dan relevansinya dengan permasalahan-permasalahan bangsa dengan melakukan kajian-kajian yang bentuk oleh masing-masing koordinator pemberdaya dengan output berupa newsletter, promosi anggota ke perlombaan-perlombaan penulisan dan debat, dan aksi sosialisme faham.

Struktur Organisasi

Struktur Organisasi sYndicate for Indonesia Transformation Universitas Indonesia (sYndrom UI) adalah sebagai berikut :

  1. Direktur Eksekutif : Pamungkas Ayudhaning Dewanto
  2. Direktorat Kajian Kesejahteraan Sosial : Panji Yudha Prasetya (Direktur), Manggala Putra
  3. Direktorat Kajian Politik dan Hukum : Adi Febrianto (Direktur), Rintis, Aditya
  4. Direktorat Kajian Ekonomi : Raymond
  5. Direktorat Kajian Hubungan Internasional : Pandu Utama Manggala (Direktur)
  6. Direktorat Kajian Kebangsaan : Arief Wicaksono (Direktur), Tulus, Budi Prabowo
  7. Direktorat Kajian Pendidikan : M. Fajri Siregar (Direktur)

Struktur organisasi ini pada dasarnya tidak didasarkan pada susunan hirarkis kekuasaan dimana salah satu bagian mampunyai kekuasaan lebih besar daripada bagian lainnya. Organisasi ini hanya didasarkan pada pembagian konsentrasi saja agar setiap koordinator dapat berkonsentrasi menjalankan tugasnya masing-masing.