Selamat datang para Nasionalis

Selamat datang para Nasionalis di website
sYndicate for Indonesia Transformation Universitas Indonesia (sYndrom UI)

03 Juni 2008

Perlukah Internasionalisasi Isu Myanmar?


Jurnal Nasional
Opini Jakarta | Sabtu, 27 Okt 2007

Oleh: Pamungkas Ayudhaning D


Tindakan pemerintah Junta militer Myanmar memancing sinyal serius terhadap penegakan HAM oleh masyarakat internasional. Mulai dari dipenjaranya pemimpin oposisi junta pro-demokrasi, Aung San Suu Kyi, hingga tindakan membabi-buta terhadap para biksu dan demonstran beberapa waktu yang lalu, menunjukkan perlu adanya solidaritas antarnegara untuk menekan pemerintahan Junta militer di Myanmar. Meski permasalahan ini berada dalam lingkup yang tergolong internal, namun hingga kini ada tiga institusi internasional yang terlibat di dalamnya.

Pertama, Uni Eropa. Keterlibatan tersebut diawali ketika Uni Eropa memboikot Myanmar untuk tidak hadir dalam pertemuan ASEM yang juga dihadiri oleh Amerika Serikat sebagai anggota luar biasa. Selanjutnya, aksi Uni Eropa ditandai dengan munculnya kecaman dan sanksi diplomatik terus diberikan oleh Uni Eropa kepada pemerintahan Junta Myanmar. Tindakan tegas ini secara nyata dan resmi pertama kali dicetuskan pada pertemuan ASEM (Asia-Europe Meeting) sejak pertama kali Myanmar bergabung sebagai anggota ASEM, tahun 2004.

Institusi internasional kedua yang terlibat dalam persoalan ini adalah PBB. Setelah meletusnya tindakan represif terhadap para demonstran dan masyarakat secara umum, PBB akhirnya menugaskan seorang utusan untuk bertemu dengan pemimpin tertinggi pemerintahan Junta, Than Shwe. Namun upaya mediasi yang dilakukan oleh Ibrahim Gambari tersebut tidak membuahkan hasil. Gambari bahkan tidak memberikan sinyal positif sedikitpun atas hasil pertemuannya dengan pemimpin junta.


Institusi ketiga yang terlibat adalah ASEAN. Setidaknya Pertemuan Tingkat Menteri ASEAN ke-36 pada Juni 2003 yang lalu telah memberikan manifestasi positif terhadap upaya penegakan HAM di kawasan Asia Tenggara. Pasalnya pada pertemuan tersebut para menlu memutuskan untuk mendesak Myanmar agar menyelesaikan pelanggaran HAM di dalam negeri. Namun sangat disayangkan, pasca-pertemuan tersebut, upaya regionalisme untuk menekan Myanmar kandas pada pembicaraan di tingkat bilateral saja. Artinya tidak ada lagi pembicaraan pada level regional.

Rezim HAM ASEAN?

Memang cukup menyedihkan melihat kenyataan bahwa ASEAN tidak mengambil peran yang besar dalam persoalan Myanmar. Preseden ini sedikit banyak membuahkan kekecewaan terhadap kinerja ASEAN. Padahal kita ketahui, belum lama, yakni 30 Juli 2007 yang lalu pertemuan tingkat menteri negara-negara ASEAN menyepakati dimasukkannya agenda pembentukan Badan HAM pada draf Piagam ASEAN. Pertemuan yang utamanya ingin mencapai kebulatan dalam melahirkan Piagam ASEAN jelas terbukti tidak diikuti dengan keseriusan akan komitmen para anggota terhadap mengatasi isu HAM.

Niatan untuk membentuk Rezim HAM di kawasan Asia Tenggara sungguh sangat mengesankan. Asia Tenggara sebagai kawasan yang dalam perjalanannya banyak menorehkan catatan buruk terhadap permasalahan HAM seperti hendak menyucikan diri. Namun memang niatan itu harus diikuti dengan langkah nyata.

Tidak dapat dipungkiri beratnya menyangga beban sebuah Rezim HAM. Tengok saja PBB sebagai lembaga supra-nasional yang sudah eksis dengan lembaga HAM yang ia miliki sejak awal. PBB yang sejak tahun 1946 telah membentuk Komisi Fungsional untuk HAM (UNCHR) juga berakhir tragis bagi kalangan internasional. Pembubaran komisi ini pada Juni 2006 yang lalu (meski kemudian menjadi Badan HAM) juga disebabkan oleh minimnya efektivitas fungsi dari penegakan HAM. Perlu dicermati bahwa penyebab utama kegagalan Komisi ini disebabkan karena masih tingginya praktik bilateralisme dalam melakukan politisasi penegakan HAM (Human Rights Watch, 2006). Masih banyak negara yang menghindari mekanisme multilateral (UNCHR) dan memilih untuk menyelesaikan sengketa HAM-nya dengan cara bilateral. Akibatnya, konsesi yang disepakati selalu berat sebelah, dan hasilnya tidak dapat diawasi secara transparan oleh masyarakat internasional.

Gejala yang dialami oleh PBB ini nampak dialami juga oleh ASEAN. Hal ini dapat dibuktikan dari tingginya intensitas resolusi konflik dan arus kebijakan luar negeri negara-negara ASEAN yang diselesaikan dalam kerangka bilateral. Katakanlah berbagai kasus yang belum lama ini berkembang seperti kasus perjanjian ekstradisi dan DCA (Defense Cooperation Agreement) antara Indonesia-Singapura, kasus sengketa teritorial yang kerap kali terjadi antara Indonesia-Malaysia, persengketaan di kawasan Laut China Selatan, konflik Myanmar-Thailand, dan berbagai konflik lainnya yang kesemuanya tidak diselesaikan melalui mekanisme ASEAN. ASEAN sendiri ternyata belum mampu menutupi fenomena bilateralisme ini. Maka praktis, ASEAN juga belum mendapatkan tempat yang utama dalam menyalurkan kepentingan negara-negara yang tergabung di dalamnya.

Regionalisme seharusnya menjadi pintu utama dalam menyelesaikan berbagai persoalan internal dalam sebuah kawasan, tidak terkecuali HAM. Pasalnya, dalam regionalisme sendiri terdapat komitmen integrasi yang artinya menandakan tingginya tingkat kepercayaan satu negara terhadap negara lainnya, selain adanya komitmen atas kesediaan negara-negara anggota untuk mengesampingkan kepentingan nasionalnya demi kepentingan regionalisme. Oleh karenanya, ASEAN harus mampu menemukan kembali citranya sebagai pemersatu Asia Tenggara, selain bersama-sama menegakkan kembali integritas HAM di kawasan.

Kini, pemikiran ini telah terbukti menjadi salah satu jalan keluar. Penugasan Gambari oleh PBB pada akhirnya juga melakukan pendekatan secara regional bagi upaya penyelesaian konflik Myanmar tersebut. Hal ini dibuktikan dengan dijadwalkannya Gambari untuk bertemu dengan sejumlah pemimpin ASEAN. Gambari sedikit banyak akan tetap mengedepankan mekanisme regional ketimbang internasional. Namun ke depan pertanyaan besarnya adalah, benarkah kesepuluh negara anggota ASEAN ini mau mengedepankan kepentingan regionalnya ketimbang kepentingan nasionalnya? Jawabannya sekaligus akan membuktikan prospek koherensi integrasi di kawasan Asia Tenggara ini nantinya.

Penulis Adalah Direktur Eksekutif Syndicate for Indonesia Transformation (Syndrom)

Tidak ada komentar: