Selamat datang para Nasionalis

Selamat datang para Nasionalis di website
sYndicate for Indonesia Transformation Universitas Indonesia (sYndrom UI)

06 Juni 2008

Sebuah Refleksi Membangun Bangsa

Opini Jurnal Nasional
Jakarta | Jum'at, 06 Jun 2008

Oleh: Pamungkas Ayudhaning Dewanto*

Bulan Mei dan Juni selalu menjadi bulan refleksi bagi bangsa Indonesia terhadap berbagai capaian atas gagasan besar yang secara kultural-kognitif dibawa oleh para founding fathers di negeri ini. Refleksi ini seharusnya menghasilkan pemikiran yang lebih esensial dan utuh dalam rangka melahirkan berbagai gagasan besar untuk pembangunan yang dampaknya dapat dirasakan oleh anak cucu kita ke depan. Bung Karno dan yang lainnya juga dengan cara yang eklektik telah mewariskan Pancasila dan keutuhan Bangsa Indonesia kepada kita di waktu ini.

Namun ironisnya, tidak mudah membayangkan Indonesia yang sejahtera, aman, dan demokratis ketika pemandangan gap antara masyarakat miskin dan kaya semakin menjadi. Bangsa ini seolah berkutat sibuk mengurusi berbagai persoalan yang saat ini sudah tidak pantas untuk diurusi. Sepertinya terlalu tebal kepentingan sektoral, sektarian, dan ekslusif yang membayangi kornea mata bangsa ini hingga buta dan merintih sakit sendiri. Padahal bangsa ini tidak dibangun dengan spirit yang demikian. Ada substansi lain yang seharusnya menjadi concern utama bangsa ini. Faktanya, bangsa ini dibangun untuk kepentingan kolektif, pluralitas, dan inklusif.

Tidak ada yang menyakiti bangsa ini kecuali dirinya sendiri, pemerintahnya sendiri, masyarakatnya sendiri. Jangan menyalahkan kapitalisme, sosialisme, ataupun Pancasila. Salahkan mental kita dan ketidakjelian bangsa untuk melihat persoalan secara jernih. Satu kata yang diperlukan oleh Indonesia saat ini adalah: Produktif.

Belajar dari Negara Lain

Mari kita melihat keluar sejenak. China dan Korea Selatan misalnya, dengan berbagai kendala yang dihadapi bangsanya mulai dari jumlah penduduk, ketertinggalan, kemajemukan, dan keterbatasan sumber daya alam, namun pemerintah China dan Korea Selatan mampu mondongkrak perekonomiannya secara signifikan. Penduduk China yang tadinya miskin karena pengangguran, kini bisa bekerja di berbagai bidang usaha yang menerapkan sistem padat karya. Tahun 1960-an, jalan-jalan protokol di Korea Selatan dipenuhi dengan anak-anak yang berdagang rokok eceran, minuman, makanan ringan, pada pengendara yang melintas. Pemandangan yang setiap harinya masih kita cermati di berbagai jalan di Jakarta dan seluruh kota besar di Indonesia. Faktanya, hanya dalam dua keturunan peningkatan penghasilan yang diterima masyarakat Korea Selatan meningkat 32 kali-lipat. Hingga pada tingkat bawah, kebijakan pemerintah China dan Korea Selatan dapat dirasakan. Sudahkah rakyat kita yang di bawah merasakan hal yang sama?

Sudah terlalu sering bangsa ini berkutat di dalam, dan sayangnya hal-hal yang tidak penting lebih diurusi. Ketika China sudah memikirkan pengalihan dari industri barang ringan ke alat berat, Indonesia masih memikirkan pengeluaran SKB tiga menteri untuk melarang Ahmadiyah. Suatu kebijakan yang jika dilakukan tidak akan mengubah nasib petani, buruh, ataupun pengusaha kecil Indonesia menjadi insan yang lebih sejahtera. Ketika bangsa lain melalui kebijakan desentralisasi mampu menghadirkan ketertiban birokrasi dan efisiensi anggaran sehingga efektif dan tepat guna, bangsa kita melalui otonomi daerah justru digunakan untuk memenuhi kepentingan politik "putra daerah" saja dalam Pilkada yang praktiknya sekitar 75 persen diselesaikan melalui pengadilan. Belum lagi adanya wacana pemekaran daerah yang diwarnai dengan semangat sektoral dan kepentingan politik pragmatis. Semangat sektarian dan sektoral teramat sangat kental sehingga membutakan para pengambil kebijakan dan masyarakat di negeri ini.

Kaderisasi partai tidak disosialisasikan dengan kontestasi kinerja dan keteladanan, tetapi dengan tipu daya instrumentalisasi demokrasi partai politik. Kompetisi antarparpol dibangun berdasarkan ideologi mana yang lebih mendominasi, bukan kinerja mana yang lebih menyejukkan dan menyejahterakan. Bukan menyatukan melainkan memetakan. Bukan inklusif tetapi eksklusif. Jika Bung Karno, Sjahrir, dan Bung Tomo menyaksikan pemandangan ini, tentu mereka akan menangis tersedu karena nasib bangsa ini tinggal menanti ajal saja.

Bagaimana mau menjadikan bangsa ini maju jika pendidikan saja ditelantarkan oleh orang-orang yang katanya adalah para pemikir bangsa. Sejarahnya, tidak ada satupun bangsa maju yang tidak berangkat dari pendidikan. Mulai dari Otto Van Bismarck, Jerman, dan negara maju manapun semua berawal dari pendidikan. Negara tetangga kita Malaysia, mulai dari dikumandangkannya kemerdekaan, hanya ada satu anggaran yang tidak dapat ditawar lagi yakni pendidikan (25%). China, Korea Selatan, India dan Jepang menarik ratusan doktornya dari 100 besar universitas di dunia setiap tahunnya untuk melakukan berbagai kemajuan di negaranya. Sudahkah rakyat Indonesia memperoleh pendidikan yang layak untuk mencetak pribadi yang unggul di kemudian hari?

Padahal jika bangsa ini mau serius, tidak mustahil Indonesia menjadi counterweight yang berbobot bagi China ataupun India. Mari kita lihat Kabupaten Jembrana, yang berkomitmen kuat untuk menyelenggarakan pendidikan gratis dan bermutu. Sistem pendidikan yang diterapkan di kabupaten yang berpenduduk sejumlah 250 ribu orang ini sungguh mirip dengan apa yang dilakukan di berbagai negara maju. Di samping itu juga terdapat Kota Madya Solok yang berhasil melakukan penertiban birokrasi dan sistem penyelenggaraan pemerintahan melalui Perda No 1/2008 tentang Etika Pemerintahan Daerah. Angka korupsi dapat ditekan dan kualitas pelayanan publik menjadi nyata dan mendukung perekonomian masyarakatnya. Bayangkan jika ada 100 saja Pemda tingkat II yang berkualitas Jembrana dan Solok, masa depan bangsa ini bukan suatu mimpi belaka.

Spirit suatu bangsa harus dimaknai dengan rasa nasionalisme yang kontekstual sehingga menjadi produktif dan melahirkan berbagai gagasan baru, terutama bagaimana kita memandang negeri ini di tengah percaturan global. Refleksi Pancasila dan Kebangkitan Nasional bukan hanya menjadi semangat retoris untuk membangun kesatuan di negeri ini. Namun demikian juga membangun kesejahteraan dan martabat bangsa di tengah perlunya negara untuk ambil bagian dalam perpolitikan internasional. Sehingga bukan menjadi tulisan atau pemikiran belaka yang membangkitkan satu atau dua kelompok saja, namun seluruh komponen bangsa. "Satu untuk semua, semua untuk satu", demikian nasionalisme kontekstual Bung Karno diucapkan.

*Direktur Eksekutif Syndicate for Indonesia Transformation (Syndrom)

http://www.jurnalnasional.com/?med=Koran%20Harian&sec=Opini&rbrk=&id=52183&detail=Opini

1 komentar:

Admin mengatakan...

Mari kita bergerak ke solusi yang lebih praktis dan real. tulisannya bagus, sayang waktu baca gw menanti2kan solusi praktisnya.