Selamat datang para Nasionalis

Selamat datang para Nasionalis di website
sYndicate for Indonesia Transformation Universitas Indonesia (sYndrom UI)

21 Agustus 2007

Optimistis dan Revolusi Putih

Pamungkas Ayudhaning Dewanto*


KENAIKAN harga susu yang belakangan terjadi di DKI Jakarta, kini telah menjalar ke berbagai wilayah di Indonesia. Akibatnya, banyak warga kewalahan menghadapi kenyataan ini. Kejadian itu bisa dicermati dalam kaca mata pesimistis dan tentunya juga optimistis.


Kenaikan harga susu formula yang berkisar antara 15% hingga 20% itu semakin memicu turunnya jumlah konsumsi susu bagi masyarakat. Ada banyak dugaan dalam menengarai penyebab dari kenaikan harga susu itu. Di antaranya kekeringan di beberapa negara yang menjadi penyuplai utama pasokan susu ke Indonesia, yakni Australia dan Selandia Baru. Imbasnya, tentu kelangkaan semacam ini selalu diikuti naiknya harga produk. Harga bahan baku susu impor yang tadinya hanya berkisar pada US$1 per kilogram (kg), kini naik hingga US$2,2 per kg. Dugaan lain sebagai penyebab atas naiknya harga susu di dalam negeri itu, antara lain tingginya bea masuk terhadap produk susu dari luar negeri.

Setidaknya pemerintah mengenakan 15% untuk biaya masuk bahan baku susu dari negara pengekspor. Hal itu juga kemudian mengakibatkan tingginya biaya produksi yang dikeluarkan setiap perusahaan susu. Semua itu dibebankan kepada konsumen. Malahan, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu menegaskan bahwa kenaikan susu dari tahun ke tahun berkisar stagnan pada angka 5%.

Berbagai gejala tersebut tentu membuktikan tingginya ketergantungan masyarakat terhadap produk susu ini. Namun demikian, sangat disayangkan Indonesia masih menggantungkan pasokan susu impor. Pada sudut pandang ini, sebenarnya sekaligus juga mewakili pola pikir pesimistis dalam menanggapi persoalan ini.

Tentu tidak dapat dipungkiri akan pentingnya kebutuhan susu di Indonesia, dan bahkan di negara manapun. Apalagi di negara ini masih sering terdengar berita akan gizi buruk atau mala nutrisi yang menimpa rakyat miskin.

Seharusnya, produk ini, selain sembilan bahan pokok tentunya, perlu menjadi prioritas utama dalam sektor pemenuhan kebutuhan masyarakat. Hingga saat ini, bangsa kita memang tidak pernah menjadikan susu Sebagai prioritas utama. Hal itu dibuktikan dengan lemahnya selfsufficiency atas kebutuhan ini. Bayangkan saja, saat ini, sedikitnya Indonesia menggantungkan dirinya terhadap kemampuan impor atas komoditi ini sebesar 70% dari total kebutuhan susu dalam negeri. Susu sebagai komoditi yang tidak diprioritaskan juga terlihat pada pernyataan yang secara langsung diungkapkan Mari Pangestu beberapa waktu yang lalu (detikfinance.com, 27/06).

Bukan prioritas Akibat dari tidak diprioritaskannya produk ini, pemerintah tidak dapat mengontrol dan menentukan secara langsung harga susu di pasaran. Berbagai premis itu tentunya semakin memperkokoh landasan pikir serba impor, bahkan pada komoditi sepenting susu ini.

Kelemahan berikutnya atas ketergantungan terhadap impor itu tentunya berimbas kepada melemahnya sektor industri kecil produsen susu di berbagai daerah. Setahun yang lalu, misalnya, ketika susu (formula) impor semakin diminati dalam pasaran di Indonesia. Kondisi itu sangat merugikan produsen susu lokal, seperti yang terdapat di Boyolali, Jawa Tengah. Para pengusaha kecil mencoba melakukan estimasi mengenai kelangsungan usaha mereka ketika kondisi diasumsikan memburuk (impor semakin besar). Kala itu, harga susu pada peternakan lokal berkisar Rpl.400 hingga Rpl.500 per liternya (Suara Merdeka, 14 Juni 2006).

Padahal seharusnya, agar para produsen susu lokal ini dapat bertahan, harga susu berkisar di atas Rp2.000 per liter. Hasil estimasi keseluruhan menyatakan bahwa pengusaha kecil yang hanya memiliki 2-3 ekor sapi dipastikan akan merugi dan bahkan bangkrut ketika kondisi diasumsikan terus menanti impor. Padahal, produsen susu di daerah Boyolali itu mayoritas hanya memiliki 2-3 ekor sapi. Padahal para pengusaha susu lokal saat ini setidaknya memasok 30% dari jumlah keseluruhan kebutuhan susu di negeri ini.

Pada era 1950-an, Dr Verghese Kurien memperkenalkan White Revolution di India. Setelah mengalami ketidakmampuan akan pemenuhan kebutuhan susu, pemerintah India segera mengambil alih komoditi itu sebagai salah satu prioritas utama dalam kebijakan pemerintahnya. Sebenarnya, argumen dasar yang digunakan para politisi di India kala itu sangatlah sederhana. Selain memang untuk memenuhi kebutuhan susu dalam negeri, pembangunan sektor perusahaan susu menjadi suatu ukuran tersendiri untuk menciptakan penyediaan lahan pekerjaan serta pendapatan suplementer (supplementary employment and income) bagi kelompok usaha kecil dan juga para pekerja tidak tetap.

Awalnya, produksi susu di India stagnan, khususnya pada 1950 dan 1960-an. Pertumbuhan produksinya pun negatif. Akhirnya pemerintahan setempat mencanangkan adanya OF (operation flood). OF itu dibagi menjadi tiga periode, dengan setiap periodenya telah menuiv jukkan jumlah yang signifikan bagi pembangunan (procurement) produksi susu di India.

Dimulai dari 1970 dan diakhiri pada 1996, tiga periode yang telah berjalan tersebut setidaknya meningkatkan produksi susu dari 2,56 juta kg per hari (OF I, 1970-1981) menjadi 11 juta kg per hari (OF III, 1987-1996). Produksi susu secara keseluruhan juga meningkat dari 17 juta ton pada 1950-1951, menjadi 84,6 juta ton pada 2001-2002. Angka itu diperkirakan juga akan terus meningkat hingga saat ini.

Pemberdayaan usaha kecil Strategi dalam OF mencakup unsur yang cukup luas, namun sederhana. Di antaranya pemerintah mulai mengatur produk susu. Strategi lain yang dilakukan ialah membangun sistem usaha yang proporsional, di antaranya dengan memberdayakan perusahaan susu besar dan sekaligus memberdayakan usaha kecil yang berbasis pada intensifikasi dan ekstensifikasi peternakan.

Sedangkan untuk menjamin keseimbangan ketersediaan susu di seluruh wilayah di India, akhirnya dicanangkan program producers cooperatives. Program itu merupakan suatu langkah inovasi institusional yang membuka akses secara luas dan terbuka antara masyarakat pedesaan sebagai penghasil susu dalam lingkup kecil, dan seluruh komponen masyarakat di seluruh India. Dampaknya, masalah kelangkaan pun teratasi dengan sendirinya. Melalui langkah-langkah itulah, India, yang pada mulanya penghasil susu terendah di dunia, kini menjadi penghasil susu terbesar di dunia.

Setidaknya ada beberapa keuntungan yang didapat dari upaya selfsufficiency produksi susu ini. Pertama, konsumsi susu jelas akan meningkatkan angka harapan hidup setiap warga negara. Karena berkaitan dengan pemenuhan gizi dan nutrisi.

Berikutnya, konsumsi susu merupakan investasi jangka panjang bagi sumber daya manusia di suatu negara. Hal itu dapat kita cermati dengan melihat liniernya variabel antara jumlah konsumsi susu di suatu negara dan tingkat pembangunan dan inovasi di suatu negara itu sendiri, seperti halnya di berbagai negara maju.

Ketiga, terkait dengan persoalan pembangunan ekonomi rakyat pada masyarakat di suatu negara. Dengan menempatkan produksi susu sebagai prioritas utama dalam komoditi, idealnya diikuti dengan langkah-langkah konkret dari pemerintah untuk membangun sistem regulasi perdagangan yang sehat dan berbasis pada kesejahteraan masyarakat.

Sebenarnya, bagi negara berkembang seperti Indonesia, langkah-langkah agrikultural seperti itu menjadi pilihan yang menjanjikan. Potensi masyarakat, wilayah, dan budaya sangatlah mendukung untuk mengembangkan sektor tersebut. Dengan mengkumodifikasikan produk susu lokal, artinya telah melakukan langkah-langkah konkret untuk membangun sektor usaha kecil dan menengah (UKM) seperti halnya mayoritas para produsen susu ini. Di samping itu, pola inovasi juga harus terus dilakukan, sehingga pemenuhan kebutuhan akan susu dapat diraih secara mandiri dan sesuai dengan dinamika yang berkembang.

Preseden itu memang patut kita jadikan sebagai refleksi. Semua itu kembali kepada pemeriritah dan masyarakat, apakah berani melakukan terobosan-terobosan yang sebenarnya kecil, namun sangat berarti bagi bangsa ini? Atau dengan kata lain, siapkah kita menuju berdikari pangan dengan Revolusi Putih ala Indonesia?


*Koordinator Umum (KoordUm) Syndicate for Indonesia Transformation (Syndrom) Universitas Indonesia. dipublikasikan sebelumnya pada harian Media Indonesia: senin, 9 Juli 2007 dan pada YPHA (Yayasan Pemantau Hak Anak).

Tidak ada komentar: